—– Setiap kali Hari Guru tiba, refleksi tentang jasa dan peran mereka mengemuka.
Namun, di era digital saat ini, diinginkan atau tidak, gelombang transformasi digital telah menghempas keras tembok-tengah sekolah kita. Jika dahulu guru adalah sumber ilmu utama, kini jawaban untuk hampir semua pertanyaan ada di ujung jari, hanya sejauh ketikan di mesin pencari. Dalam situasi seperti ini, apakah relevansi guru perlahan memudar? Justru sebaliknya.
Di tengah banjir informasi yang tak terbendung, peran guru justru mengalami transformasi fundamental: dari menjadi sumber ilmu (repository of knowledge) menjadi pemandu makna (navigator of meaning).
Keberadaan Artificial Intelligence (AI), Google, dan ensiklopedia online mampu menyajikan data, fakta, dan teori dengan cepat dan akurat. Mereka adalah perpustakaan terhebat yang pernah ada. Namun, mereka tidak memiliki hati nurani, empati, dan kemampuan untuk menilai konteks kemanusiaan. Di sinilah letak perbedaan abadi antara mesin dan guru.
Seorang guru tidak hanya bertugas mentransfer informasi. Tugas utamanya adalah membimbing siswa untuk menyaring, mengkritisi, dan menyambung-nyambungkan informasi yang berserakan itu menjadi sebuah pengetahuan yang bermakna. Sebuah data sejarah dari internet bisa saja faktual, tetapi gurulah yang akan menghidupkannya dengan nilai-nilai kepahlawanan, memaknainya dalam konteks kekinian, dan menjadikannya cermin untuk membangun karakter bangsa.
Guru mengajarkan bukan hanya apa yang terjadi, tetapi mengapa hal itu penting dan bagaimana pelajaran itu membentuk kita sebagai manusia. Inilah proses transformasi dari sekadar informasi menuju kebijaksanaan (wisdom), yang hanya bisa dilakukan melalui sentuhan manusiawi.
Guru sebagai Ahli Literasi Digital
Di sinilah kemudian konsep literasi digital bagi guru menjadi sangat krusial. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan aplikasi zoom atau google classroom. Itu adalah tahap paling dasar. Literasi digital yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk berpikir kritis terhadap segala informasi yang diterima, memahami etika dalam ruang digital, dan mampu menciptakan konten yang positif dan edukatif.
Guru zaman now harus menjadi role model dalam hal ini. Mereka harus mampu menunjukkan pada siswa bagaimana membedakan berita hoaks dari fakta, bagaimana bersikap santun dalam diskusi online, dan bagaimana menggunakan platform digital untuk hal-hal yang konstruktif, bukan sekadar konsumtif. Ketika seorang guru mampu mengajarkan ini, ia tidak hanya mengajarkan sebuah subjek pelajaran, tetapi ia mengajarkan keterampilan hidup (life skill) yang paling dibutuhkan di abad ke-21.
Aspek lain yang tak bisa digantikan oleh teknologi adalah kekuatan hubungan emosional antara guru dan siswa. Proses pendidikan adalah proses yang intim. Seorang guru yang baik akan mengenal karakter setiap muridnya: mana yang pemalu, mana yang bersemangat, mana yang sedang mengalami masalah. Ia akan memberikan pujian yang tulus, teguran yang meneduhkan, dan dorongan yang tepat pada waktunya.
Interaksi manusia-ke-manusia inilah yang membangun rasa percaya diri, empati, dan ketahanan mental siswa. Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan pelukan simbolis seorang guru saat siswanya gagal, atau senyuman bangga ketika siswanya berhasil memahami sebuah konsep yang sulit. Di era di mana anak-anak semakin terpapar pada dunia virtual, kehadiran guru sebagai “anchor” atau jangkar di dunia nyata menjadi semakin berharga. Gurulah yang mengingatkan mereka bahwa di balik layar, ada kehidupan nyata yang penuh dengan dinamika sosial dan empati.
Tantangan dan Panggilan Kolaboratif
Transformasi ini tentu bukan tanpa tantangan. Banyak guru, terutama yang sudah senior, yang gagap teknologi. Di sisi lain, beban administratif yang menumpuk seringkali menyita waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mengembangkan materi pembelajaran digital yang kreatif. Transformasi ini bukannya tanpa halangan.
Beberapa tantangan terbesar adalah: Kesenjangan Kompetensi Digital. Tidak semua guru melek teknologi. Pelatihan yang ada seringkali sekadar dan tidak berkelanjutan, meninggalkan banyak guru, terutama yang senior, dalam kebingungan; Beban Administratif Digital. Alih-alih mempermudah, teknologi justru sering membelenggu guru dengan setumpuk tugas input data, e-rapor, dan laporan online yang menyita waktu untuk persiapan mengajar yang kreatif; Infrastruktur yang Tidak Merata. Masalah paling mendasar: sinyal internet. Ketimpangan antara kota dan desa masih menjadi jurang lebar yang menghambat pemerataan kualitas pendidikan digital.
Oleh karena itu, dalam memperingati Hari Guru tahun ini, mari kita jadikan momentum untuk bergotong-royong. Pemerintah harus memperkuat pelatihan literasi digital yang berkelanjutan dan aplikatif bagi guru, bukan sekadar seremonial. Institusi pendidikan perlu menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi pembelajaran. Orang tua perlu bersinergi dengan guru dalam mengawal anak-anak menggunakan gawai secara sehat. Dan kita semua, sebagai masyarakat, harus memberikan apresiasi dan kepercayaan yang lebih besar kepada guru.
Guru tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian. Mereka butuh: Pelatihan yang aplikatif, bukan teoritis. Pelatihan yang fokus pada pemanfaatan tools digital untuk meningkatkan kualitas mengajar, bukan sekadar cara mengoperasikannya; Infrastruktur dan kebijakan yang mendukung, mulai dari akses internet yang merata hingga penyederhanaan administrasi yang membebani; Kemitraan dengan orang tua untuk bersama-sama mengawal literasi digital dan kesehatan mental anak.
Penutup
Pada akhirnya di Hari Guru ini, marilah kita melihat guru dengan perspektif baru. Mereka bukan lagi “Google” yang hidup, karena untuk hal itu, teknologi sudah jauh lebih cepat dan lengkap. Mereka adalah “navigator”, “pemberi makna”, dan “pemanusia” dalam perjalanan panjang seorang anak menuju masa depannya. Tugas kita adalah memastikan bahwa mereka tidak berlayar sendirian. Dengan dukungan dan kolaborasi yang tepat, guru Indonesia akan menjadi mercusuar yang tak tergantikan, menerangi generasi penerus bangsa di tengah samudra digital yang luas dan penuh gelombang. Selamat Hari Guru! Terima kasih untuk semua makna yang telah Bapak dan Ibu guru tuangkan dalam setiap generasi. (*)
Penulis : Dr. Isabella, S.IP, M.Si
(Dosen Universitas IGM, Penggiat Literasi Digital)


