Lembaga keuangan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan brand Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis.
Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu menjadi inspirati untuk berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya.
IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada Syariah islam. Tahun  1991 diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah diperkenalkan system perbankan syariah dan mulai beroperasi pada tahun 1992. Didukung oleh cendekiawan Muslim dan pengusaha, serta masyarakat luas pada saat itu Sistem Perbankan Syariah Indonesia menjalankan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Hingga tahun 1998 praktis bank Syariah tidak berkembang.
Baru setelah diluncurkan Dual Banking System melalui UU No. 10/1998, perbankan Syariah mulai menggeliat naik. Dalam 5 tahun kemudian sejak diberlakukan Dual Banking System tersebut, pelaku bank Syariah bertambah menjadi 10 bank dengan perincian 2 bank merupakan entitas mandiri (BMI dan Bank Syariah Mandiri/ BSM)/ BSU dan lainnya merupakan unit/divisi Syariah bank konvensional (UUS).ÂÂÂ
Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah dan berdampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan Bank Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di Indonesia. Berdasarkan laporan Bank Indonesia bulan Januari 2010 sudah terdapat 6 Bank Umum Syariah (BUS) yaitu: BMI, BSM, Bank Syariah Mega, Bank Syariah BRI, Bank Syariah Bukopin dan Bank Syariah Panin dan terdapat 25 Unit Usaha Syariah (UUS) seperti UUS BNI, UUS Danamon, UUS BII dan seterusnya.
Pada tahun yang sama Pemerintah RI mengeluarkan kebijakan untuk menguatkan kegiatan usaha UKM (Usaha Kecil Menengah) dengan dikeluarkannya pembiayaan baru bagi UMKM dan koperasi, yaitu kredit usaha rakyat (KUR). Dana yang disediakan sebesar Rp 14.5 triliun disalurkan melalui enam bank pelaksana, yaitu BRI, BNI, BTN, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Syariah Mandiri. Pagu kredit yang diberikan mulai Rp 5 juta hingga Rp 500 juta dengan bunga maksimal 16% per tahun.
Pangsa pasar UKM saat itu cukup besar terdapat sekitar 50 juta unit UMKM, terdiri dari 47 juta unit usaha mikro, 2 juta unit usaha kecil, dan 120 ribu unit usaha menengah. Namun, sebagian besar usaha ini menghadapi kesulitan mendapatkan kredit dari perbankan nasional. Dari total semua UMKM, saat itu hanya 19 juta pengusaha yang menjadi nasabah bank. Sisanya, sekitar 31 juta tidak punya akses ke bank. Peran perbankan syariah diharapkan  dapat menjembatani kebutuhan akses pembiayaan UMKM  guna menjadi salah satu solusi untuk meningkatan perekonomian  UMKM Indonesia ke depan.
Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) dapat menjadi penguat perekonomian suatu bangsa karena UKM mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sektor UKM membantu penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Selama periode lima tahun terakhir, tingkat serapan tenaga kerja pada sektor UKM tumbuh dari 96,99 persen menjadi 97,22 persen. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai banyaknya tenaga kerja yang mampu diserap oleh sektor UKM dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kekuatan UKM sebagai bagian dari kekuatan ekonomi suatu bangsa dapat dilihat sejak tahun 1997-1998 walaupun masih dalam masa krisis, ternyata jumlah UKM tidak berkurang, justru meningkat terus, bahkan mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta tenaga kerja sampai tahun 2012. Pada tahun 2012, jumlah pengusaha di Indonesia sebanyak 56.539.560 unit.
Dari jumlah tersebut, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM) sebanyak 56.534.591 unit atau 99.99%. Sisanya, sekitar 0,01% atau 4.968 unit adalah usaha besar. Data tersebut membuktikan, UKM merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri jasa keuangan, terutama bank untuk menyalurkan pembiayaan. Karena sekitar 60-70% pelaku UKM belum memiliki akses pembiayaan perbankan. (Lies Maria Hamzah, JEP-Vol. 8, N0 Juli, 2019).
Hampir 80 persen pembiayaan UKM dilakukan oleh perbankan khususnya BRI lewat program KUR. Sampai bulan Agustus 2013 , bank nasional yang menyalurkan KUR sebanyak 7 (tujuh) bank yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah). Bank BRI adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafond mencapai Rp. 77,5 triliun. Total realisasi KUR sampai dengan 30 Juli 2020 berdasarkan data Kemenkop UKM yang sudah tersalurkan ada sebanyak Rp 93,53 triliun. Angka ini baru 53 persen dari target sebesar Rp 176,22 triliun (sumber pengolahn data dari informasi kemenkop dan UKM ). Untuk total realisasi subsidi KUR sampai dengan 31 Agustus 2020 (Data Kementerian Koperasi dan UKM) sebesar Rp9,79 triliun atau sebesar 51,78% dari pagu anggaran Rp18,91 triliun.
Data tersebut diatas memberikan gambaran bahwa UKM merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri jasa keuangan, terutama bank untuk menyalurkan pembiayaan. Kinerja UKM di Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Secara garis besar permasalahan dalam UKM karena Rendahnya kinerja UKM sendiri dan tidak optimalnya pembangunan daya saing. Permasalahan kinerja UKM dapat dilihat dalam hal produktivitas, kontribusi ekspor, partisipasi produksi global dan regional serta kontribusi terhadap nilai tambah.
Sedangkan permasalahan rendahnya daya saing UKM karena minimnya tingkat pendidikan dan keahlian, sulitnya pengurusan perizinan bagi UKM, kurangnya akses pemodalan, dan kurangnya dukungan infrastruktur (http://bi.go.id).
Dari kedua permasalahan ini ternyata pemanfaatan pembiayaan usaha kecil menengah masih oleh lembaga keuangan shariah masih sangat rendah. Hal ini terjadi disebabkan oleh (1). sulitnya lembaga keuangan shariah menilai UMKM yang possible dan bankable yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam pemberian kredit; (2) Animo UMKM yang rendah terhadap upaya pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan dan (3) Sebagian besar UMKM belum melakukan pemisahan keuangan antara keuangan pribadi dengan usaha.ÂÂÂ
Dari ketiga poin permasalahan ini, beberapa pihak terkait baik lembaga pemerinta pusat atau daerah termasuk lembaga keuangan shariah sendiri dapat mengambil langkah kongkret pemanfaatan teknologi informasi terintegrasi untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil menengah yaitu:
1. Lembaga pembiayan perbankan shariah yang tidak memiliki core usaha pada usaha mikro dapat menggunakan model pembiayaan linkage dan channeling dengan lembaga pembiayaan lainnya. tentu hal ini mudah dilaksanakan dan lebih cepat direalisasikan karena akses data atau informasi pelaku usaha dan operasionalnya sudah dapat dimonitor dengan melalui teknologi informasi terintegrasi.
2. Perlu adanya sistem informasi debitur terintegrasi antar lembaga pembiayaan bank dan non bank untuk mencegah terjadinya pembiayaan berulang pada UKM yang sama yang dapat menimbulkan terjadi kesulitan pembayaran.
3. Pembentukan organisasasi resmi berbasis komunitas baik yang sudah eksis atau baru dimunculkan diperlukan guna pembentukan kemitraan antara pemerintah pusat, daerah dan lembaga pembiayaan lainnya dalam hal memberikan bantuan teknis kepada UKM, sehingga pembinaan yang dilakukan dapat lebih terintegrasi. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan UKM dalam menghadapi persaingan usaha baik dari digital marketing maupun konvensional.
4. Perlunya adanya system pembiasaan pembinaan UKM berjenjang untuk mengikuti pembinaan dari lembaga pembiayaan dan menyerahkan laporan keuangan usaha secara periodik kepada lembaga pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadi penyimpangan pemanfaatan pembiayaan yang diberikan oleh lembaga pembiayaan. Serta dapat meneruskan pembinaan kepada calon-calon pelaku usaha baru nantinya.
Bentuk pembinaan yang dilakukan terhadap pelaku UKM sesuai dengan 2 (dua) permasalahan diatas yaitu dapat berupa pembinaan dalam bentuk penguasaan produktivitas yang efektif, efisien dan alternative pengelolaan produksi usaha, kemandirian dan keahlian dalam menyusun marketing oriented agar tujuan pendistribusian barang atau jasa umkm dapat segera direalisasikan, penguatan mental dan semangat pelaku usaha umkm untuk berani menawarkan produk dalam produksi global dan regional melalui media teknologi informasi yang tersedia baik dalam digital market yang sudah ada ataupun new digital market yang dibangun sendiri, kontribusi nilai tambahan terhadap produk yang ditawarkan harus bisa didesain dengan baik tidak hanya dalam bentuk asas manfaat produk tersebut saja tapi juga bisa dalam bentuk kemasan yang menarik dan convicing produk tentunya.
Penulis :
Chandra satria
(Ketua STEBIS IGM)
Email: chandras@stebisigm.ac.id
Comment