IGMTVnews.com —– Lokakarya Akademik Fraksi Partai Golkar (FPG) MPR RI menghasilkan kesimpulan yang tegas menyangkut penggunaan anggaran pendidikan. Lokakarya tersebut menegaskan anggaran pendidikan sebesar 20% digunakan untuk membiayai program yang sesuai peruntukannya, bukan untuk hal-hal lain seperti pendidikan kedinasan.
“Berdasar peraturan pemerintah, itu penggunaan anggaran pendidikan untuk membiayai pendidikan kedinasan sudah tidak diperbolehkan lagi. Makanya, kalau sekarang masih ada, itu berarti menyalahi peraturan perundangan,” ungkap Akademisi Universitas Kristen Maranatha Bandung Prof Dr Johanes Gunawan, dalam keterangannya, Rabu (23/7/2025).
Meski terkadang sangat urgent, pendidikan kedinasan, itu sebaiknya menggunakan anggaran masing-masing lembaga yang bersangkutan. Sementara anggaran pendidikan, digunakan sebagaimana peruntukannya, sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Yaitu membiayai pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Apalagi jumlah anak putus sekolah masih cukup besar, karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, terutama di daerah 3T.
Kesimpulan menghindari penggunaan anggaran pendidikan 20% dari pendidikan kedinasan, dipicu oleh makalah yang disampaikan Johanes. Dalam makalah berjudul ‘Restrukturisasi Anggaran Pendidikan Sesuai Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945’, Johanes mengungkapkan Pendidikan Kedinasan tidak diperbolehkan menggunakan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD.
Larangan tersebut sejalan dengan pasal 1 PP No 18 tahun 2022 tentang perubahan atas PP No 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan. Ketentuan pasal 80 dalam PP tersebut diubah sehingga berbunyi, Anggaran Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk biaya Pendidikan Kedinasan.
Sebelum lahirnya UU No 12 tahun 2012 tentang Dikti, Pendidikan Kedinasan diatur melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat lex generalis (umum).
Tetapi sejak muncul UU tentang Pendidikan tinggi, yang bersifat lex specialis (khusus) istilah Pendidikan Kedinasan tidak ditemukan lagi, diganti dengan sebutan Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL). Artinya, sejak 2012 istilah pendidikan kedinasan sudah tidak eksis. Johanes mengatakan kalau sekarang istilah pendidikan kedinasan masih dipakai, itu juga tidak ada dasar hukumnya.
“Karena itu perlu dipikirkan kembali apakah kita masih memerlukan Pendidikan Kedinasan, karena prodi-prodinya sudah ada di perguruan tinggi. Mestinya kita patuh pada UU Dikti, yang tidak mengenal istilah Pendidikan Kedinasan. Kalau itu dilaksanakan negara akan menghemat anggaran hingga Rp 104,5 triliun, bisa dimanfaatkan untuk peningkatan mutu pendidikan dasar, menengah, dan tinggi,” kata Johanes.
Mendengar penjelasan tersebut, Ketua Komisi X DPR RI Dr Heitifah berterima kasih atas informasi yang didapat. Ia juga berjanji pihaknya akan sangat berhati hati dalam pembahasan perubahan UU Sisdiknas.
Selain itu, Komisi X bertekad mengawal secara ketat agar anggaran pendidikan digunakan sesuai peruntukannya, dan tidak menyalahi perundangan yang berlaku. Menurut Heitifah, soal anggaran pendidikan itu memang tidak mudah.
“Aturannya minimal 20 persen, yang diberikan benar-benar 20 persen, kalaupun ada kelebihan itu sangat kecil. Padahal amanatnya minimal, seharusnya bisa dapat lebih besar lagi,” ungkap Heitifah. “Belum lagi masih ada Pemda yang belum memenuhi anggaran 20 persen buat pendidikan dari APBD,” sambungnya.
Heitifah menuturkan yang pasti Komisi X ingin menjadikan semua sekolah, memiliki mutu yang sama. Tidak seperti sekarang, terdapat gap yang lebar antara sekolah di kota dengan di wilayah 3T.
Komisi X juga mengerahkan seluruh potensi pembiayaan untuk peningkatan mutu sekolah di seluruh kawasan Indonesia. Menurut Heitifah, sehingga anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD, bisa digunakan untuk pendidikan.
“Saya sangat berterima kasih atas diskusi yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Golkar MPR ini. Karena akan memperkaya wawasan kita, termasuk dalam rencana perubahan UU Sisdiknas,” kata Heitifah. (*)